Perempuan Adiluhung Merupakan Sosok Perempuan Yogyakarta Sejak 1757

Karakter yang menonjol pada Perempuan Adiluhung di masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwana I (HB I) di Yogyakarta pada saat itu sangatlah diakui dan dihormati khususnya perannya di lingkungan keraton mataran maupun dikalangan serdadu kerajaan mataram. Karena peran perempuan pada saat itu ikut ambil bagian sebagai serdadu yang bersama-sama para laki-laki terutama dalam membela keutuhan Wilayah Kerajaan Mataram dari ancaman penjajah Belanda.

Hal tersebut disampaikan oleh Romo Tirun Budayawan Yogyakarta saat berbicara didepan peserta Sosialisasi Kreatifitas Perempuan Yang Adiluhung, kerjasama antara Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat (BPPM) DIY dengan BKKPPKB Kabupaten Bantul di Hotel Brongto Yogyakarta, Kamis (14/11).

Itulah karakter Perempuan Yang Adiluhung yang benar, lanjut Romo Tirun, walaupun mempunyai banyak peran baik di dalam keluarga maupun diluar keluarga, namun mereka memanfaatkan perannya dengan benar serta tidak melanggar kaidah-kaidah sebagai perempuan yang terhormat. "Tetapi pada saat ini ada beberapa oknum perempuan yang menyalah gunakan peranya, dengan melakukan banyak peran dengan melupakan kaidah-kaidah sebagai keperempuannya, seperti terlalu banyak berperan diluar rumah dengan melupakan kehormatanya, kurang perhatian terhadap anak-anaknya bahkan kurang atau tidak menghormati suami sebagai kepala keluarga." kata Romo Tirun.

Perempuan Yogyakarta pada masa Pemerintahan HB I hingga masa-masa berikutnya bukan hanya pandai ngadi busono saja namun juga piawai olah pikir, olah kanuragan maupun olah batin, sehingga menjadi sosok perempuan yang adiluhung dari luar dan dari dalam jiwanya atau mempuanyai innerbeauty. "Bahkan pada saat itu hampir tidak ada bedanya peran antaran perempuan dengan laki-laki." terang Romo Kirun. Contohnya istri HB I, RA. Widyaningrat adalah merupakan pimpinan bregoto atau Parajurit perang yang berbasis di wilayah Bantul Selatan. Contoh lain seperti perempuan pejuang Nyi Ageng Serang adalah istri dari HB II yang juga merupakan anak dari Sunan Kalijaga.

Perempuan Yogyakrta pada saat itu, tambah Romo Kirun, di dalam hatinya mempunyai pegangan kehidupan yang kuat, nyawiji, greget, sengguh dan ora mingkuh. Figurnya mampu untuk menjadi seorang Abdi Negara serta mampu menyelamatkan dunia ini dari kerusakan. Hal ini hanya bisa dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan yang berjiwa dan berkarakter ksatria. tegas Romo Kirun.

Sementara Wakil Kepala BPPM DIY Sri Martini, SH. M Hum dalam sambutannya diantarnya menyampaikan bahwa sebutan yang pas bagi perempuan bukan lagi sekedar konco wingking dan mengikuti kemana suaminya pergi. Namun perempuan adalah sebagai pendamping dan mitra suami. "Perempuan sejajar dengan laki-laki, perempuan mempunya hak dan kewajiban yang sejajar dengan laki-laki. Dapat memberikan solusi yang terbaik di kala suka dan duka, dapat memberikan solusi untuk memcahkan dan menjawab dekadensi moral generasi muda yang saat ini sangat memprihatinkan." kata Sri Marini.

Nara sumber yang lain pada acara tersebut adalan Rosa pelaku pendidikan dan pengamat perempuan di DIY. Sedangkan seminar diikuti oleh sekitar 70 orang yang terdiri dari perwakilan dari lembaga pemerintah, sekolah, para pelaku budaya atau seniman, dan tokoh masyarakat se Kabupaten Bantul. (Sit)

Berbagi:

Pos Terbaru :