Peringatan Satu Dasawarsa UU Keistimewaan DIY, Mengingat Kembali Bukti Bakti Pada Negeri

Belum genap satu bulan usai proklamasi, dua kerajaan melebur menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dua kerajaan tersebut adalah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman. Pada saat itu, Kasultanan Ngayogyakarta dan Kadipaten Pakualaman masih berstatus swapraja atau daerah yang memiliki hak pemerintahan sendiri.

Ketika Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai perwakilan Kasultanan Ngayogyakarta dan K.G.P.A.A. Paku Alam VIII yang mewakili Kadipaten Pakualam menekan teken untuk menjadi bagian republik, Ir. Soekarno memberi payung hukum khusus dan status istimewa sebagai daerah dalam Indonesia. Regulasi tersebut nyatanya terus berubah seiring perkembangan zaman. Hingga pada akhirnya UU Keistimewaan disahkan pada tahun 2012.

Kendati demikian, Dosen Sejarah Universitas Gadjah Mada, Dr. Sri Margana, M.Hum., mengingatkan status istimewa Yogyakarta bukan semata pemberian pemerintah. Pada kenyataanya, Daerah Istimewa Yogyakarta mampu membuktikan yang membuatnya layak disebut istimewa.

“Jogja ini istimewa bukan karena pemberian pemerintah. Saat Jakarta lumpuh sebagai ibukota, Yogyakarta menawarkan diri untuk menjadi ibukota baru dengan segenap kemampuan yang dimiliki. Hanya butuh beberapa minggu bagi Yogyakarta untuk menyambut dan menghidupi 17.000 penduduk baru yang merupakan pegawai pemerintahan RI. Ini adalah hasil gotong royong pemerintah dan masyarakat,” jelas Sri Margana saat memberi paparan dalam Peringatan Peristiwa Sejarah Satu Dasawarsa UU Keistimewaan DIY di Pendopo Manggala Parasamya, Sabtu (3/9).

Tak hanya menyiapkan segala sesuatunya terkait pemindahan Ibukota, Yogyakarta juga kembali menunjukkan keberanian dengan melancarkan Serangan Umum 1 Maret saat Agresi Militer Belanda berusaha menggoyahkan republik. Dengan adanya Serangan 1 Maret, Indonesia berusaha menggaungkan pada dunia bahwa eksistensi republik anyar ini masih ada. Tak berhenti sampai di sana. Saat Indonesia lesu secara finansial di awal-awal kemerdekaan, Sri Sultan Hamengku Bowono IX memberikan cek sebesar enam juta gulden agar Republik Indonesia tetap bertahan.

Aksi-aksi itulah yang membuat Yogyakarta layak disebut istimewa. Pada masa-masa pelik, Yogyakarta sanggup menunjukkan bukti bakti pada negeri tanpa pamrih.

Hadir dalam kesempatan yang sama, Bupati Bantul, Abdul Halim Muslih, menambahkan peringatan satu dasawarsa UU Keistimewaan DIY ini sejatinya merupakan salah satu upaya meningkatkan marwah keistimewaan.

“Untuk meningkatkan marwah keistimewaan ini kita perlu berpikir reflektif. Karena tetap tujuan akhirnya kan meningkatkan kesejahteraan segenap rakyat DIY dalam basis budaya melalui penguatan partisipatif demokratif menuju tataran panca mulia,” ujar Bupati.

Turut memeriahkan Peringatan Peristiwa Sejarah Satu Dasawarsa UU Keistimewaan DIY, sejumlah putra-putri asli daerah tampil dengan bakat masing-masing. Mereka adalah Bantul Chamber Orchestra, Paksi Raras Alit, Okky Kumala, Nanda Candra, Pandika Kumajaya, dan Ardha Tatu.

Berbagi:

Pos Terbaru :