Sebagai upaya dalam melestarikan budaya daerah, Kirab Budaya Ngarak Siwur berhasil membuat antusias warga masyarakat Kapanewon Imogiri membanjiri pinggiran jalan pada Kamis (11/7/2024). Acara ini dimulai pada pukul 13.00 WIB dan diawali dengan upacara serah terima pusaka dilannjutkan dengan kirab budaya dari kantor Kapanewon Imogiri yang berakhir di Terminal Pajimatan.
Kirab Budaya diiringi oleh Pasukan Bregodo dari delapan kalurahan di Imogiri dengan membawa gunungan yang berisi hasil bumi dari masing-masing kalurahan. Bupati Bantul serta para Lurah se-Kapanewon Imogiri pun turut ikut dalam iring-iringan kirab dengan naik kendaraan tradisional yaitu Andong.
Di tengah perjalanan, peserta kirab berhenti untuk mengambil kotak kayu berisi siwur atau gayung yang berada di Kabupaten Juru Kunci Makam Keraton Surakarta dan Yogyakarta. Acara ini tidak hanya menjadi perayaan kultural, tetapi juga simbol kebersamaan dan keharmonisan antarwarga Kapenewon Imogiri itu sendiri.
Sesampainya di Terminal Pajimatan Imogiri, gunungan kemudian diperebutkan oleh masyarakat setempat dan pengunjung yang hadir mengisyaratkan semangat gotong-royong dan kehidupan berkomunitas yang masih terjaga kuat di Imogiri. Setelah gunungkan diperebutkan, kotak kayu yang berisi siwur tadi kemudian dibuka oleh Bupati Bantul lalu diserahkan kepada abdi dalem Keraton Surakarta dan Yogyakarta. Perayaan ini tidak hanya menarik perhatian lokal, tetapi juga menarik wisatawan asing untuk menyaksikan tradisi budaya tersebut.
Bupati Bantul, Abdul Halim Muslih, yang turut hadir mengikuti rangkaian kirab budaya juga memberikan apresiasi atas terlaksananya acara ini karena berperan strategis dalam melestarian budaya dan tradisi Ngayogyokarta, karena dengan adanya acara ini juga menjadi salah satu bentuk nyata dari tema hari jadi Kabupaten Bantul ke-193 tahun 2024 yaitu Bersatu Membangun Bantul Sejahtera dan Berbudaya.
“Bantul sebagai cikal bakal mataram dan pintu gerbang budaya Daerah Istimewa Yogyakarta yang memiliki ragam budaya dan tradisi yang melimpah diwariskan oleh para leluhur, apabila hal ini tidak terjaga, tidak kita rawat, tidak kita lestarikan maka eksistensi keragaman tradisi budaya kita itu akan bisa hilang dan akan tergerus oleh waktu," terang Halim.
Keesokan harinya, Siwur tersebut kemudian digunakan untuk menguras empat buah enceh yang berada di depan pintu gerbang Makam Sultan Agung. Pada awalnya Sultan Agung menggunakan enceh hanya untuk berwudhu. Namun kini, Air dari keempat tempayan tersebut kemudian dianggap sebagai air suci oleh masyarakat. Sehingga, banyak yang meyakini air dalam enceh tersebut memiliki kekuatan untuk menyembuhkan penyakit. (Ag)