Jika menilik Surat Edaran Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor: 400.5.9.1/40, seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN) dan pelajar di Daerah Istimewa Yogyakarta wajib berbusana gagrak Ngayogyakarta setiap Kamis Pon. Sebelumnya, aturan memakai busana gagrak Ngayogyakarta ini dilaksanakan setiap hari Kamis Pahing.
Busana gagrak Ngayogyakarta merupakan pakaian khas Yogyakarta dengan berbagai makna dan filosofi. Ada tata cara dan aturan-aturan yang perlu diperhatikan. Ini yang menjadi salah satu alasan pengurus Dharma Wanita Persatuan (DWP) di Kabupaten Bantul menggelar pelatihan tata cara memakai busana gagrak Ngayogyakarta.
“Penggunaan busana gagrak Ngayogyakarta ini salah satu warisan adiluhung yang patut kita pertahankan supa anak cucu kita masih bisa melestarikannya. Ada pembelajaran-pembelajaran di sana. Contohnya, mengapa blangkon Yogyakarta ada mondolan di belakang? Itu artinya kita sebagai makhluk Tuhan harus taat dan patuh menyembah kepada Sang Pencipta,” cetus Ketua DWP Bantul, Endang Agus Budiraharja.
Pelatihan tata cara menggunakan busana gagrak Ngayogyakarta ini disampaikan oleh Ketua Paguyuban Abdi Dalem di Kabupaten Bantul, Kanjeng Mas Tumenggung (KMT) Projosuwasono. Sebagai pembuka, ia melontarkan satu tetembungan atau filosofi Jawa terkait busana.
“Kalau di Jawa, ada istilah Ajining Dhiri Saka Lathi, Ajining Raga Saka Busana. Artinya, harga diri seseorang ditentukan oleh ucapannya, sedangkan kehormatan seseorang ditentukan oleh busananya. Sehingga, mari kita sama-sama belajar menggunakan busana gagrak Ngayogyakarta dengan pantas dan benar,” ujar KMT Projosuwasono.
Mula-mula, KMT Projosuwasono menjelaskan perbedaan ubarampe busana gagrak Ngayogyakarta bagi laki-laki dan perempuan. Untuk laki-laki, yang perlu disiapkan adalah surjan, blangkon, sinjang atau kain panjang yang digunakan sebagai bawahan busana, setagen, kamus dan timang atau kepala sabuk dan gesper ikat pinggang, keris, selop, dan asesoris.
“Blangkon yang dipakai adalah blangkon yang memiliki mondholan di belakang. Lalu kerisnya bisa memakai model branggah atau gayaman,” jelasnya.
Lalu untuk perempuan, yang perlu disiapkan adalah kebaya model kartini tanpa kutu baru, ukel atau sanggul bagi yang tidak memakai penutup kepala, sinjang, setagen, selop, dan asesoris.
Ketika memakai sinjang, jarik yang dipakai memiliki warna dasar hitam atau putih. Jarik ini lantas dilipat yang dikenal dengan istilah wiru. Untuk laki-laki, wiru bagian luar sejumlah tujuh atau empat belas lipatan dengan lebar lima sentimeter. Sementara wiru bagian dalam yang disebut dengan pengasih, dilipat sebanyak lima atau sepuluh lipatan dengan lebar 2,5 sentimeter. Sedangkan untuk perempuan, dilipat wiru biasa selebar 2,5 sentimeter.
“Cara memakainya, wiru bagian dalam dilipat ke arah kanan, disusul wiru bagian luar yang diletakkan di tengah-tengah, tepatnya di pusar. Kemudian, jarik ini ditali. Tapi jangan pakai rafia karena tidak kencang. Setelahnya, pakai setagen. Bisa pakai setagen warna polos seperti merah, biru, atau kuning. Untuk laki-laki, setagen yang dipakai boleh memakai setagen corek cindhe,” terang KMT Projosuwasono.
Setelah setagen, urutan selanjutnya adalah memakai atasan surjan untuk laki-laki dan kebaya untuk perempuan. Khusus laki-laki memang lebih kompleks. Karena setelahnya, masih ada blangkon, keris, dan selop yang dipakai.
“Kerah atau gulon inggil surjan laki-laki tingginya lima sentimeter dengan tiga pasang kancing. Lalu kancing dada, jumlahnya dua. Kalau yang di bawah dada, jumlahnya tiga,” jelas KMT Projosuwasono secara detail.
Tidak berhenti di sana. Usai memakai busana lengkap, KMT Projosuwasono juga mengingatkan adab saat memakai busana gagrak Ngayogyakarta. Antara lain, tidak boleh menunjuk atau menuding menggunakan jari telunjuk. Sebaiknya, hal ini dilakukan menggunakan ibu jari. Selain itu, saat berbicara, sebaiknya tidak menggunakan volume tinggi. Lalu khusus laki-laki, jika ingin duduk bersandar, sebaiknya keris diputar terlebih dahulu di sisi kanan. (Els)