Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat kembali menggelar tradisi Hajad Dalem Labuhan Parangkusumo. Tradisi ini digelar setiap tahunnya dan dilaksanakan setiap tanggal 30 Rejeb dalam kalender Jawa. Labuhan sendiri diambil dari kata labuh yang memiliki arti membuang atau menghanyutkan sesuatu ke sungai maupun laut.
Juru Kunci Pemancingan Parangtritis, Mas Bekel Suraksa Trirejo menyebut, tradisi labuhan merupakan perwujudan dari filosofi Hamemayu Hayuning Bawana. "Sebagai filosofi Hamemayu Hayuning Bawana yaitu melestarikan dan menyeimbangkan alam dan juga sisi lain merupakan ucap syukur selama ini telah memberikan nikmat barokah kepada kita semua sehingga dimaknai dengan ini, serta memohon kepada Tuhan di tahun yang akan datang dapat lebih baik dari tahun kemarin,” ucapnya saat ditemui usai upacara labuhan, Kamis (30/1/2025).
Senada dengan hal tersebut, KRT Wijoyo Pamungkas selaku Utusan Dalem Keraton Yogyakarta menyampaikan, tradisi labuhan ini adalah ungkapan syukur atas apa yang diterima warga Daerah Istimewa Yogyakarta sepanjang tahun, dan menjadi pengharapan agar masyarakat Yogyakarta senantiasa diberikan kesejahteraan dan kedamaian.
"Ini merupakan ungkapan rasa syukur yang berbentuk labuhan. Labuhan itu membuang sesuatu di tempat yang sudah ditentukan. Hari ini ada tiga tempat untuk labuhan, yang satu di samudra (Parangtritis) yang dua di gunung (Gunung Merapi dan Gunung Lawu),” ungkap KRT Wijoyo Pamungkas.
Sebelum dilabuh ke laut, berbagai uborampe yang terdiri dari empat jenis yakni Pengajeng, Pendherek, Lorodan Ageman Dalem dan lain sebagainya telah diinapkan semalam di Bangsal Sri Manganti Keraton. Selanjutnya, diberangkatkan dari Keraton Yogyakarta menuju ke Parangkusumo.
“Membuang itu bukan hanya membuang di sembarang tempat, namun ada tempat-tempat yang sudah ditentukan. Tujuannya, karena tempat-tempat ini disesuaikan dengan sejarah berdirinya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat,” imbuhnya.
Ia juga berpesan, agar tradisi labuhan dapat terus dilestarikan dan dipahami maknanya khususnya bagi generasi muda. “Itu merupakan budaya yang harus kita uri-uri, generasi muda harus tau itu. Ini bukan hanya membuang sesuatu tapi ambilah makna dari labuhan ini,” pungkasnya.
Ritual labuhan ini disambut antusias oleh masyarakat dan wisatawan baik lokal maupun internasional. Salah satu wisatawan mancanegara, Patrick mengatakan, dirinya begitu tertarik dengan tradisi masyarakat Jawa.
“Ingin mendalami inti budaya Keraton. Jadi tidak cuma yang kasat mata tapi juga yang penghormatan kepada alam dan seluruhnya. Jadi mengerti bagaimana orang Jawa memahami lingkungannya bukan hanya dari fisik tapi juga dari unsur spiritualnya,” kata Patrick. (Fza)