Perlindungan Khusus Anak (PKA) adalah suatu bentuk perlindungan yang diterima anak dalam situasi dan kondisi tertentu untuk mendapatkan jaminan rasa aman terhadap ancaman yang membahayakan diri dan jiwa dalam tumbuh kembangnya. PKA merupakan salah satu klaster dari lima klaster dalam Konvensi Hak Anak. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak sejak tahun 1990 dan telah membentuk Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Perlindungan Khusus Anak tercantum dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Oleh karena itu, Indonesia memiliki kewajiban dan tanggung jawab dalam menjamin hak pada anak yang membutuhkan perlindungan khusus.
Hal itu diungkapkan oleh Komisioner KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) Dr. Diyah Puspitarini, S.Pd., M.Pd., pada Rapat Koordinasi KPAI dan Pemerintah Kabupaten Bantul di Ruang Kerja Bupati Bantul, Jumat (20/9/2024). Lebih lanjut ia mengatakan bahwa selain banyaknya permasalahan kekerasan terhadap anak, tidak sedikit juga yang menjadi korban adalah anak-anak dengan disabilitas.
Beberapa tahun ke belakang menjadi momentum sangat penting dalam kerangka pemajuan komitmen Negara atas Pemenuhan hak anak penyandang disabilitas. Negara meratifikasi UN Convention on the Rights of Persons with Disabilities atau Konvensi Hak Penyandang Disabilitas (UN CRPD) melalui Undang-Undang nomor 19 tahun 2011, yang diikuti dengan pengesahan UU 8/2016 tentang penyandang disabilitas.
“Hingga saat ini, dua Peraturan Presiden, tujuh Peraturan Pemerintah, serta peraturan Menteri dan peraturan pelaksana lainnya telah dikeluarkan untuk memandu pelaksanaan pemenuhan hak penyandang disabilitas. Hal ini tentulah perlu diapresiasi, sekaligus dikawal upaya pelaksanaannya," terang Diyah.
Diyah menuturkan, tugas pertama Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan anak dan pemenuhan hak anak.
Berdasarkan data pengaduan yang diterima oleh KPAI Tahun 2023 ada 2656 pengaduan kasus pelanggaran hak anak, sebanyak 823 pengaduan merupakan pengaduan kasus perlindungan khusus anak. Ada 3 jenis pengaduan kasus yang mendominasi pada klaster perlindungan khusus anak tahun 2023.
“Anak korban kekerasan seksual menjadi pengaduan tertinggi dalam klaster perlindungan khusus anak tahun 2023 yaitu mencapai 358 pengaduan kasus. Selanjutnya, anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis sebanyak 231 pengaduan kasus, dan anak berhadapan dengan hukum (sebagai pelaku) sebanyak 44 pengaduan kasus," kata Diyah.
Angka kekerasan pada anak di DIY menjadi perhatian khusus KPAI. Data yang terhimpun dari DP3AP2 DIY di tahun 2023 terdapat 414 kasus kekerasan terhadap anak yang tersebar di 5 kabupaten/kota. Kekerasan terhadap anak merupakan masalah serius yang memerlukan perhatian dan penanganan yang terkoordinasi dari berbagai pihak.
DIY, kasus kekerasan terhadap anak menunjukkan kebutuhan mendesak untuk upaya perlindungan yang lebih efektif dan terintegrasi. Kekerasan terhadap anak tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik dan mental anak, tetapi juga pada perkembangan sosial dan emosional mereka. Selain itu, anak-anak dengan disabilitas sering menghadapi tantangan tambahan dalam memperoleh hak-hak dasar mereka, termasuk layanan kesehatan, pendidikan, dan dukungan sosial yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
“Meskipun berbagai inisiatif dan program telah dilaksanakan untuk menangani isu-isu ini, masih terdapat beberapa tantangan yang perlu diatasi. Dalam konteks ini, koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi profesi, dan komunitas sangat penting untuk memastikan bahwa langkah-langkah yang diambil adalah komprehensif, berkelanjutan, dan responsif terhadap kebutuhan anak-anak," ucapnya.
Untuk itulah, KPAI memandang perlu untuk mendiseminasikan hasil pengawasan, sekaligus membuka ruang diskusi dalam rangka mendorong kesepahaman dan kerjasama yang lebih baik antara semua pihak terkait, sehingga upaya perlindungan terhadap anak dan pemenuhan hak-hak mereka dapat berjalan lebih efektif dan berdampak positif bagi kesejahteraan anak di DIY.
Sementara itu, Sekretaris Daerah Kabupaten Bantul Agus Budiraharja, S.K.M., M.Kes., pada kesempatan itu mengatakan bahwa saat ini miris sekali banyak terjadi kekerasan pada anak, baik yang dilakukan oleh teman sendiri, orang tua maupun orang tidak dikenal.
“Menyikapi hal tersebut, perlunya kerjasama semua pihak baik orang tua, pihak sekolah, aparat penegak hukum, dan masyarakat. Adanya satuan tugas (satgas) anak di Kabupaten Bantul ini perlu kita dukung bersama-sama, sebagai agen anti perundungan anak. Walaupun kita mendapat penghargaan tingkat nasional kategori utama Kabupaten Layak Anak, masih banyak menyisakan persoalan ketimpangan dan kekerasan pada anak, masih ada laporan di UPTD kasus 78 lebih pertahun kekerasan pada perempuan dan 22 kasus kekerasan pada anak," kata Sekda Bantul.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) kita secara implisit menyampaikan di dalam misi ke limanya bahwa pemerintah daerah akan mewujudkan kesetaraan perlindungan untuk urusan perempuan dan anak, untuk mewujudkan Kabupaten Layak Anak, hal memerlukan effort yang luar biasa karena kita sudah memandang pasti ada permasalahan anak-anak di era modern ini.
“Karena anak itu investasi masa depan, maka perlu dituangkan dalam RPJMD kita, masalah perempuan dan anak ini tidak hanya diampu oleh satu OPD saja, melainkan seluruh OPD di Kabupaten Bantul," tegasnya. (Rch)