Saya tidak setuju dengan sertifikasi. Kebijakan itu memerlukan anggaran yang mahal tetapi tidak akan membuat pendidikan kita maju. Sangat mudah bagi seorang guru untuk mengumpulkan sertifikat, tetapi apakah mereka benar-benar paham dengan materi dan diaplikasikan dalam pendidikan? Sertifikasi jelas tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk menilai kompetensi seorang guru, tegas Fauzil, pemerhati pendidikan anak dan keluarga serta penulis buku-buku best seller itu.
Kegiatan yang diselenggarakan oleh Persaudaraan Wanita Muslimah (Salimah) Kabupaten Bantul bekerjasama dengan Dinas Pendidikan Dasar Kabupaten Bantul itu diikuti oleh 300 peserta, yang sebagian besar dari kalangan pendidik. Menghadirkan pembicara, Drs. Sahari, Ka. Dinas Pendidikan Dasar Kab. Bantul (key note speaker), Fauzil Adhim, S.Psi dan Ust. Didik Purwodarsono.
Fauzil mengatakan, saat ini kualitas pendidikan di Indonesia berada pada ranking 16 di antara negara-negara Asia Pasifik. Kita kalah dengan Malasyia, Singapura, Vietnam, Brunai Darusalam, Philipina, Papua Nugini, Selandia Baru dll. "Sekarang dosen-dosen UGM merasa bangga jika kuliah di Malaysia, padahal pada tahun 80-an, mereka sangat bangga jika dapat kuliah di Indonesia, di universitas mana pun," jelas Fauzil.
Kunci keberhasilan mereka menurut Fauzil adalah adanya keinginan untuk berubah. Malasyia mengimport guru-guru terbaik dari Indonesia untuk merancang pendidikan di Malasyia, dan mereka benar-benar menjalankannya. Sebaliknya, kehancuran akan terjadi jika kita sudah merasa puas, menutupi kelemahan-kelemahan dan tidak berusaha untuk memperbaikinya.
Sementara itu Didik Purwodarsono mengatakan, anak-anak harus dibiasakan dan dipahamkan tentang hal-hal praktis yang berkaitan dengan masalah seks dan reproduksi, diantaranya menanamkan jiwa maskulinitas pada laki-laki dan feminitas pada perempuan, mengenalkan mahramnya, mendidik anak untuk tidak ikhtilat (campur baur antara laki-laki dan peempuan, tidak berkhalwat (berduan dengan lawan jenis), membiasakan memisahkan tempat tidur anak dan mendidik kebersihan alat kelamin.
"Kita tidak perlu menjelaskan caranya, karena binatang pun tahu, tetapi kita perlu menjelaskan dampak dari hubungan seks itu, baik secara sosiologis, historis, biologis maupun teologis. Dan yang paling menderita dari perbuatan itu adalah kaum perempuan," jelas Didik.
Sedangkan Fauzil menilai, pendidikan seks tidak perlu dibuat khusus tetapi bisa terintegrasi atau terpadu dengan mata pelajaran lain. Selain itu sejak awal, anak juga harus dikenalkan identita seksual, bahwa dia itu laki-laki atau perempuan. Di Jepang, sekolah mendorong perbedaan simbol dari awal. "Anak laki-laki menggunakan tas warna biru, perempuan warna merah. Itu menjadi salah satu faktor keberhasilan pendidikan di Jepang," jelasnya.
Sementara itu Sahari menilai seminar ini sangat penting untuk mendukung tanggung jawabnya sebagai seorang guru. (Sit)