Bupati Bantul dalam sambutannya merasa prihatin dengan perkembangan yang begitu cepat penyakit leptospirosis dan menimbulkan korban yang begitu banyak. Tahun 2008 belum ada kasus namun dua tahun kemudian yakni 2010 terjadi 116 kasus dengan 19 berakhir kematian dan 2011 sampai dengan 26 Januari terjadi 13 kasus dengan 3 orang mati.
Sementara Kepala Dinas Kesehatan Bantul dr. Siti Noor Zaenap, M.kes dalam laporannya mengatakan derajat kesehatan masyarakat itu dipengaruhi empat faktor yakni faktor genetika, pelayanan kesehatan (Dinkes), perilaku masyarakat dan lingkungan. Leptospirosis merupakan penyakit yang disebabkan bakteri leptospira dan bersifat zoonis yakni ditularkan melalui perantara binatang terutama yang menyusui diantaranya tikus, babi, sapi, kambing, domba, kuda, anjing, kucing, serangga dan burung.
Penyakit leptospirosis sendiri dibagi dua yakni leptospirosis anikterik dimana kasusnya mencapai 90% dari seluruh kasus yang ada dengan gejala ringan dan akan sembuh dengan sendirinya. Sementara leptospirosis ikterik kasusnya lebih sedikit namun menyebabkan kematian 30-50% dari semua kasus yang ada.
Gejala klinisnya ada 3 fase yakni fase leptospiremia (3-5 hari) dengan gejala demam tinggi, nyeri kepala, nyeri perut, mual, muntah, mata merah. Fase immune (3-30 hari) dengan gejala demam ringan, nyeri kepala, muntah, radang selaput otak dan yang ketiga Fase convalescent (15-30 hari) yaitu terjadi pulihnya kondisi kesadaran, hilangnya warna kuning pada kulit dan mata, tekanan darah normal dan produksi urin normal.
Setelah pencanangan, Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Ir. Edi Suharyanto mewakili Bupati memimpin warga masyarakat Sedayu terjun langsung ke sawah memulai memburu tikus. Pemilihan wilayah Sedayu karena di kecamatan tersebut menurut data tahun 2010 paling banyak masyarakat terkena penyakit leptospirosis yaitu sebanyak 29 orang disusul Kecamatan Imogiri dan Sewon masing-masing 19 orang. (mw)