Teknologi informasi telah mengubah cara pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan publik. Digitalisasi bukan lagi sekadar tren, melainkan kebutuhan mutlak di era modern. Melalui proses digitalisasi, pemerintah dapat mempercepat birokrasi, meningkatkan transparansi, sekaligus memperluas akses informasi bagi masyarakat.
Konsep ini sejalan dengan teori Diffusion of Innovation dari Everett Rogers, yang menekankan pentingnya penyebaran inovasi agar bisa diterima oleh masyarakat luas. Inovasi yang tidak terdokumentasi dengan baik atau sulit diakses berisiko berhenti pada satu tahap, tanpa mampu memberi dampak nyata. Dengan digitalisasi, inovasi daerah dapat tercatat, dievaluasi, dan diperbarui secara berkelanjutan.
Digitalisasi inovasi juga relevan dengan kondisi terkini. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menekankan pentingnya pemanfaatan teknologi dalam penyusunan kebijakan daerah. Bahkan, pada 2024 lalu, pemerintah mendorong penguatan e-government dan aplikasi pelayanan publik terpadu sebagai wujud akselerasi digital.
BSKDN hadir sebagai lembaga yang mengawal inovasi daerah agar tidak berhenti sebatas ide. Lembaga ini mengembangkan sebuah portal resmi yang menjadi wadah publikasi inovasi dari seluruh pemerintah daerah di Indonesia.
Website BSKDN tidak hanya berfungsi sebagai catatan, melainkan sebagai pusat kolaborasi. Inovasi dari satu daerah bisa menjadi inspirasi bagi daerah lain. Misalnya, sebuah program digital pelayanan kesehatan di Jawa Barat bisa dijadikan referensi oleh pemerintah daerah di Yogyakarta, tentu dengan menyesuaikan kebutuhan lokal.
Sejalan dengan itu, teori komunikasi pembangunan menekankan pentingnya saluran informasi yang terbuka dan partisipatif. BSKDN memungkinkan ide-ide inovatif tidak hanya tersimpan di tingkat birokrasi, tetapi juga tersebar secara luas, sehingga dapat mempercepat proses replikasi di berbagai wilayah.
Salah satu contoh implementasi ada di Kabupaten Bantul, melalui Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Berlokasi di pusat kota Bantul, lembaga ini aktif memanfaatkan portal BSKDN untuk menginput data inovasi dari berbagai Organisasi Perangkat Daerah (OPD).
Kolaborasi ini memperlihatkan pola komunikasi yang terintegrasi antara pemerintah pusat dan daerah. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, perencanaan pembangunan harus dilakukan secara sistematis, terarah, dan berkelanjutan. Di sinilah Bappeda berperan: mengumpulkan, menilai, dan memastikan bahwa inovasi daerah selaras dengan rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD). Website BSKDN juga memperkuat transparansi. Data inovasi dapat diakses publik, sehingga masyarakat, akademisi, maupun pelaku usaha bisa ikut memberi masukan. Dengan begitu, inovasi daerah tidak berjalan secara eksklusif, melainkan inklusif dan partisipatif.
Yang menarik, keterlibatan mahasiswa magang di Bappeda Bantul memberi warna baru. Mahasiswa dilibatkan untuk membantu menginput data inovasi, memperbarui informasi, sekaligus menganalisis faktor-faktor yang membuat inovasi bernilai rendah.
Contohnya adalah inovasi “Aplikasi Cinta Anak Bantul” yang dibuat oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Program ini dinilai dengan skor tertentu; jika mencapai 70–100, maka dikategorikan berkelanjutan, sementara di bawah 70 dianggap rendah.
Kasus lain adalah inovasi “MA’KLUNTING (Mari Kita Lakukan untuk Atasi Stunting)” yang sempat memperoleh nilai rendah. Melalui evaluasi mahasiswa magang, ditemukan bahwa masalah bukan hanya pada implementasi, tetapi juga pada pembaruan data, kurangnya dokumentasi SK terbaru, hingga lemahnya komunikasi manfaat kepada masyarakat. Peran mahasiswa ini sejalan dengan teori participatory development communication, di mana partisipasi generasi muda menjadi kunci keberlanjutan program.
Meski digitalisasi inovasi telah berjalan, tantangan tetap ada. Pertama, masih ada disparitas kualitas inovasi antar-OPD. Kedua, literasi digital di tingkat desa sering kali belum merata. Ketiga, inovasi kerap berhenti pada tahap dokumentasi, tetapi belum optimal pada tahap implementasi di masyarakat.
Di sinilah BSKDN dan Bappeda Bantul dituntut untuk terus menguatkan komunikasi publik. Bukan hanya komunikasi birokratis vertikal, melainkan juga komunikasi horizontal yang melibatkan masyarakat, akademisi, dan pelaku usaha.
Harapan ke depan, inovasi daerah tidak hanya sekadar memenuhi kewajiban administrasi, tetapi benar-benar menjawab kebutuhan warga. Dengan komunikasi yang transparan, partisipatif, dan digital, maka ketahanan inovasi bisa terjaga, dan pelayanan publik semakin responsif di era digital. (CJ)