Pek Bung. Pek Bung. Suara yang bersumber dari panggung kecil di halaman rumah Suharyanta ini terdengar berulang-ulang. Bunyi ‘pek’ dihasilkan oleh pukulan pada alat-alat musik berbahan bambu. Sementara ‘bung’, bunyi ini timbul dari tembikar atau klenthing dengan ban karet melingkar di atasnya. Alat-alat musik sederhana, syair sederhana, semuanya berpadu dalam pertunjukkan Pek Bung, kesenian asli Pandak, Bantul.
“Pek Bung bukan sekadar kesenian tempo dulu. Pek Bung sekarang hidup di panggung-panggung modern dan berupaya untuk menemui generasi baru. Kami percaya, tradisi ini bisa hidup jika kita bersama-sama membawanya melintasi zaman,” ujar Suharyanta saat pemutaran film dokumenter Pek Bung di halaman rumahnya pada Minggu (12/10/2025).
Suharyanta atau yang akrab disapa Pakdhe Jojon, menyulap sudut halaman rumah di Nglarang, Kalurahan Triharjo, Kapanewon Pandak, Bantul, sebagai panggung pementasan Pek Bung. Tiga paguyuban Pek Bung, masing-masing tampil bergantian. Di tempat yang sama, dokumenter Pek Bung diputar dan disaksikan hadirin yang datang.
Awal Mula Pek Bung
Dalam kesempatan ini, Pakdhe Jojon berujar, Pek Bung muncul pertama kali sekitar tahun 1940an. Kala itu, Belanda membangun pabrik gula di Gesikan, Wijirejo, Kapanewon Pandak, Bantul. Di sela-sela waktu, para kompeni di pabrik gula tersebut memainkan musik keroncong. Kegiatan ini, menarik warga sekitar.
“Warga di sekitar juga ingin main keroncong. Tapi tidak punya alatnya. Walhasil, warga menciptakan alat musik sendiri dari bahan seadanya. Pakai bambu, ya. Namanya tuklik. Ini yang jadi cikal bakal Pek Bung,” tuturnya.
Seiring berjalannya waktu, alat-alat musik lain turut menyertai pertunjukan Pek Bung. Seperti kendhang, ecek-ecek atau marakas, seruling, garpu tala, gambang bambu, kentungan, dan etek eser. Di panggung modern, gitar dan ketipung mulai masuk sebagai alat musik pendamping.
Sejak pertama kali muncul, Pek Bung terus merambah ke desa-desa. Paguyuban Pek Bung menjamur. Lalu pada kisaran 1960an, Pek Bung sempat mati suri karena pergolakan politik yang mengaitkan Pek Bung dengan Partai Komunis Indonesia.
“Sebenarnya tidak hanya Pek Bung yang mati suri waktu itu. Hampir semua seni pertunjukan tiarap. Untungnya, Pek Bung perlahan mulai kembali hadir dan dapat dinikmati masyarakat,” imbuh Pakdhe Jojon.
Pek Bung dan Tantangan Zaman
Walau Pek Bung sempat bersemi pasca mati suri, pada akhirnya Pek Bung juga menghadapi tantangan zaman. Kekinian, eksistensi Pek Bung mulai tergerus. Tak banyak anak muda menaruh minat. Jumlah paguyuban Pek Bung berkurang. Sisa yang masih ada bertahan mati-matian. Sebut saja Paguyuban Pek Bung Klenthing Laras Miring, Paguyuban Pek Bung Abakura, hingga Paguyuban Pek Bung Tri Manunggal Sari.
Ketua Paguyuban Pek Bung Tri Manunggal Sari, Agus Wijanarko, menyebut, ia dan kelompoknya setia memainkan Pek Bung karena kesenian ini memiliki berbagai fungsi. Sebagai hiburan, edukasi, sarana dakwah, serta memperkuat ikatan sosial budaya.
“Kami bangga bermain Pek Bung. Kami pernah tampil di hadapan Ibu Jusuf Kalla saat beliau menjadi istri Wakil Presiden. Pernah diundang di kediaman GKR Pembayun. Pernah juga diminta tampil oleh Institut Kesenian Indonesia (ISI) Yogyakarta. Pihak ISI menilai penilaian kami untuk dikaji dan dipelajari,” ungkap Agus.
Di tengah gempuran zaman, Pek Bung bertransformasi agar tidak lenyap. Jika mulanya Pek Bung hanya menembangkan lagu-lagu perjuangan, kini Pek Bung lebih adaptif dan bisa mengiringi genre lagu apa saja. Lagu-lagu dolanan anak, lagu pop, campursari, langgam jawa, bisa dibawakan dengan Pek Bung.
Yang menarik, saat pertunjukan Pek Bung berlangsung di halaman rumah Pakde Jojon, salah satu hadirin menyumbangkan suara dengan membawakan lagu ciptaan Consuelo Velazquez, Besame Mucho. Dengan iringan Pek Bung, satu hadirin yang lain turut unjuk gigi dengan menari waltz.
“Pek Bung, lagu latin, tarian waltz. Kombinasi ini bisa dilakukan dan bagus. Siapa tahu besok Pek Bung bisa go internasional,” kelakar Pakde Jojon.
Bupati Bantul, Abdul Halim Muslih, yang turut hadir pada acara tersebut juga turut tampil. Ia memilih lagu Kau Yang Sangat Kusayang ciptaan A.Riyanto. Lagu ini dipopulerkan oleh Rano Karno. Lagi-lagi, lagu ini juga cocok dibawakan dengan iringan Pek Bung.
Usai menyanyikan satu lagu, Bupati memberi pesan kuat, “Pek Bung, kesenian asli Pandak, adalah identitas budaya kita. Harus kita lestarikan agar generasi kita tidak kehilangan akar. Identitas budaya yang kuat, juga punya fungsi sosial yang tinggi.”
Hal senada disampaikan oleh Wakil Bupati Bantul, Aris Suharyanta. Menurutnya, sebagai warisan leluhur, Pek Bung menegaskan DNA Satriya warga Bantul. “Bantul Bumi Satriya artinya jiwa atau DNA Satriya mengakar kuat bagi warga Bantul. Bentuk menjadi satriya ini macam-macam. Salah satunya dengan melestarikan budaya. Seperti Pek Bung ini,” ujarnya.
Pek Bung, akan terus digiatkan oleh paguyuban-paguyuban yang ada. Juga, dikenalkan pada generasi muda. Dengan dukungan Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah X, Pek Bung akan senantiasa digemakan. Dengan demikian, meski prosesnya tidak mudah, Pek Bung masih memiliki napas panjang untuk diestafetkan kepada generasi-generasinya selanjutnya. (Els)