Tahun 2021 adalah tahun pertama Pemerintah Kabupaten Bantul mencanangkan program Bantul Bersama (Bantul Bersih Sampah 2025). Ini adalah program yang membutuhkan banyak sinergi karena perkara sampah tidak pernah mudah. Pula, jalan berliku pengelolaan sampah semakin menantang pasca TPA Piyungan ditutup. Tapi, penutupan TPA terbesar di DIY ini tak bisa dihindari mengingat TPA ini kelewat sesak. TPA Piyungan, pada akhirnya menyerah karena tak lagi sanggup dihujani 700 ton sampah per hari.
Empat tahun berselang, Bantul Bersama terus digencarkan demi menyelesaikan persoalan sampah. Sebab Pemerintah Kabupaten Bantul enggan mewariskan bencana lingkungan kepada generasi selanjutnya jika masalah sampah tak kunjung rampung.
Terkait Bantul Bersama, banyak program ditelurkan. Menggerakkan masyarakat untuk memilah sampah, misalnya. Prosesnya tidak mudah. Tapi tentu saja budaya pilah sampah ini senantiasa dikampanyekan karena dampaknya tidak remeh. Filter sampah dari rumah, nyatanya membuat rantai pengelolaan sampah lebih efektif. Ini, sudah dibuktikan oleh beberapa kalurahan.
“Sebagian besar warga sudah memilah sampah di rumah. Sampah rumah tangga, ketika dipilah dengan baik, sudah menekan masalah sampah sampai 70 persen,” ujar Lurah Caturharjo, Wasdiyanto, dalam acara refleksi tahun keempat Bantul Bersama di TPS3R Caturharo, Kapanewon Pandak, Kamis (9/10/2025).
Lebih lanjut, Wasdiyanto menjelaskan salah satu kunci keberhasilan warga Caturharjo dalam mengelola sampah adalah pembuatan jogangan di halaman rumah masing-masing. Ada lebih dari 700 jogangan di Caturharjo. Keberadaan jogangan ini cukup ampuh dalam menegakkan kemandirian pengelolaan sampah. Sistem yang sederhana, lekat dengan kearifan lokal, dan cocok bagi warga yang masih memiliki sisa lahan di rumah.
“Satu rumah tangga bahkan ada yang memiliki lebih dari satu jogangan. Sampah-sampah organik, sudah teratasi dengan sistem jogangan. Ini juga mendukung gerakan membangun 5.000 jogangan di Bantul. Karena sampah organik sudah teratasi di rumah tangga masing-masing, 70 persen masalah sampah selesai. Maka yang disetor ke TPS3R tinggal sampah plastik saja,” imbuh Wasdiyanto.
Bagaimana dengan warga dengan lahan terbatas? Tentu membuat jogangan menjadi sulit diwujudkan. Sebab itu lah program lain mengekor. Contohnya, pembuatan biopori dan losida. Bupati Bantul, Abdul Halim Muslih, bahkan mengeluarkan edaran agar seluruh pegawai di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bantul wajib membuat biopori. Dengan demikian, tidak ada lagi alasan tidak mampu mengelola sampah organik karena lahan sempit.
Selain pilah sampah dan kelola sampah dari rumah, gebrakan lain yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bantul adalah membangun sejumlah tempat pengelolaan sampah. Menyuburkan keberadaan rumah kumpul sampah (RKS), mendorong tempat pengelolaan sampah di tiap Kalurahan, mengebut pembangunan TPST di Modalan maupun Dingkikan, hingga mega proyek seperti ITF Bawuran. Kemampuan tiap tempat pengelolaan sampah ini berbeda-beda. Dari yang bervolume kecil hingga puluhan ton per hari. Kendati upaya-upaya ini telah dipecut, Bantul masih punya PR sampah.
“Dari gap 100 ton sampah, yang berhasil kami kelola baru 62,75 ton per hari. Artinya, masih ada 37,25 ton sampah yang belum teratasi. Ini terus kita upayakan demi meningkatkan derajat kesehatan dan lingkungan yang bersih di Bantul,” tutur Kepala Dinas Lingkungan Hidup Bantul, Bambang Purwadi Nugroho.
Program-program terkait Bantul Bersama memang telah berkelindan selama empat tahun. Namun program ini tidak akan berhenti sampai di sini. Pemerintah Kabupaten Bantul akan terus melaksanakan program ini sebagai prioritas karena sejatinya persoalan sampah juga merembet pada aspek lain. Baik dari segi ekonomi, sosial, kesehatan, pendidikan, hingga budaya. (Els)