Sempat terpuruk saat pandemi covid-19, kini produk kerajinan di Bantul untuk pasar ekspor kembali menggeliat lagi. Hal ini diakui oleh Supandi, pemilik usaha Gandok Craft yang beralamat di Dusun Gersik, Kalurahan Sumbermulyo, Kapanewon Bambanglipuro, Bantul. Gandok Craft merupakan usaha yang bergerak dalam bidang kerajinan kayu. Produk yang dihasilkan beragam, mulai dari handicraft, aksesoris interior hingga furniture. Pangsa pasarnya pun telah menembus pasar luar negeri, mulai dari Jepang, Arab hingga ke benua Eropa dan Amerika.
Supandi mengakui selama pandemi Covid-19, pesanan dari luar negeri terus menyusut bahkan hingga menyentuh 50 persen. Bahkan, ia terpaksa harus mengurangi perajin yang bekerja di sana. Empat tahun berselang, kini Gandok Craft mulai bangkit kembali. Pesanan masuk terus berdatangan seiring kondisi yang semakin membaik.
Saat dikunjungi oleh Tim Jelajah Kriya bersama Dekranasda Kabupaten Bantul, Supandi mengisahkan awal mula usahanya berdiri. Berawal dari kejadian gempa bumi yang melanda Bantul pada 2006 silam. Sebelumnya, Supandi bekerja di sebuah perusahaan asing yang memproduksi barang yang sama dengan yang ia buat saat ini. Pasca bencana gempa bumi, berbekal ilmu yang didapatkan dari tempat kerja sebelumnya, dirinya mantap untuk berhenti dan mendirikan Gandok Craft.
“Kita ciri khasnya produk handicraft kayu. Yang diproduksi small furniture tapi yang agak besar juga ada. Kita 80%untuk pasar luar negeri, jadi ke eksportir, yang lokal juga ada tapi lebih banyak yang di ekspor,” katanya.
Supandi kini dibantu oleh empat orang karyawan yang bekerja secara in house. Keseluruhan proses produksi sembilan puluh persen dikerjakan di bengkel produksi milik Gandok Craft. Untuk produk dengan bahan kombinasi serat alam, eceng gondok, macrame dan kain ia memilih untuk bekerja sama dengan rekanannya. Pekerjaan seperti menganyam ia percayakan pada ibu-ibu di sekitar tempat usahanya.
“Kita punya relasi rekanan. Kalau pesanan banyak, kita sub kan ke pengrajin lain. Seperti menganyam dan membubut kita kerja sama. Begitu lebih enak, kalau semua in house malah susah. Menganyam itu biasanya ibu-ibu sekitar sini jadi dikerjakan dirumah lebih fleksibel,” bebernya.
Bahan baku yang digunakan umumnya berbahan kayu jati, akasia, mahoni, sonokeling, wadang dan munggur. Semuanya didapat dari daerah sekitar Yogyakarta yakni Bantul, Panggang dan Wonosari.
“Cari kayu di petani, pengepul kayu, kadang nebang sendiri, digergaji kemudian kita oven sendiri disini. Harga kisaran kecil Rp225.000 sampai Rp300.000. Kalau kursi macrame yang ada kombinasi dengan benang agak mahal bisa Rp600.000. Meja kursi besar bisa sampai Rp5 juta,” terang Supandi.
Terkait pemasaran Supandi mengaku ia lebih mengandalkan pameran dan melalui asosiasi pengusaha. Kini dalam sebulan, Supandi dapat mengantongi omset sekitar 15 hingga 20 juta rupiah. “Pameran itu sangat kita butuhkan, karena kalau dapat buyer langsung dari pameran itu harganya bisa dua kali lipat,” ujarnya. (Fza)