Disaat trennya orang membangun rumah dengan gaya Eropa atau gaya internasional yang notabene memakai atap gendeng bertekstur kuat dan tebal seperti gendeng produksi daerah Kebumen yang semakin terkenal, masih ada yang bertahan memproduksi jenis gendheng jaman dulu alias gendeng kripik.
Rohmad (45) yang berdomisili di Dusun Polosiyo Desa Poncosari Srandakan, masih mempertahankan produksi yang sudah dilakukan oleh almarhum ayahnya yang sudah menjadi perajin gendheng kripik mulai sekitar tahun 1978. Pada era tersebut gendeng kripik menjadi satu-satunya produk gendeng yang dibutuhkan oleh masyarakat desa dan sebagian masyaraakat kota untuk menjadikan atap rumah mereka. Pantas saja pada saat itu merupakan masa kejayaan perusahaan gendheng kripik bagi para pengrajin Genteng Kripik termasuk ayah Rohmad. Bahkan pada saat itu, untuk memenuhi pesanan, Alm. P. Buang membeli genteng mentah maupun matang dari pengrajin lainnya.
Karena saat itu gendeng yang berjenis tebal produksi luar Bantul masih langka bagi masyarakat desa. Apalagi rumah-rumah orang desa yang berbahan bangunanya tidak sekuat bagunan rumah orang kota, mereka membangun rumah masih banyak yang memakai gedhek, papan dan kombinasi tembok dan papan/gedhek, makanya yang paling tepat sebagai atapnya jenis gendheng yang ringan atau Genteng Kripik.
Rohmat adalah generasi kedua dalam membuat Genteng Kripik ini, karena keahlian Rohmat sebatas membuat Genteng Kripik, maka usaha warisan sang ayah itu hingga saat ini tetap ia lakukan. “Kebetulan hingga saat ini masih ada beberapa orang membutuhkan gendeng kripik untuk atap rumah mereka yang biasanya merupakan rumah tradisional atau rumah makan yang masih bertipe tradisional,” kata Rohmad.
Untuk membuat gendheng kripik Rohmad membutuhkan bahan dasar tanah yang diambil dari pekarangan masyarakat sekitar. Pada Biasanya ada warga yang menyuruh dirinya untuk dibuatkan lubang sampah di pekarangannya dengan luas 1x1 meter kedalamam 1 meter, kemudian tanahnya ia beli seharga Rp 100 ribu.
Tanah hasil galian tersebut, Rohmat mempunyai satu tenaga untuk mengolah tanah di lubang tersebut dengan diinjak-injak dan diberi air secukupnya serta dibersihkan dari batu dan kerikil agar menghasilkan bahan dasar gendheng yang berkualitas. kemudian digiling bersama campuran pasir halus dengan mesin penggiling tanah untuk jadi adonan gendheng siap cetak. Dari bahan dasar seharaga sekitar Rp. 600 ribu, Rohmad bisa menghasilkan gendheng keripik sebanyak 2.500 biji.
Untuk mengahasilkan Genteng Kripik sebanyak 200 biji dan Wuwung sebanyak 50 biji Rohmad bersama ibu dan istrinya butuh waktu dari pukul 08.00 pagi hingga pukul 16.00 WIB.
Menurut Tumijem ((65) ibunya Rohmad yang mengawali usaha gendheng kripik bersama almarhum suaminya sejak tahun 1970 mengatakan bahwa, pada awalnya banyak pesanan, hingga mengambil gendheng mentah maupun yang jadi dari para pengrajin di kampungnya yang pada saat itu terdapat banyak pengrajin. “ Tetapi ketika banyak yang membuat rumah loji, pesanan mulai menurun, karena mereka memilih memakai gendheng pres atau gendheng buatan Kebumen, “ ungkap Tumijem.
Sementara Rohmad mengungkapkan, terkait terjadinya pandemi ini, omset menurun drastis. “Pada ahir awal tahun 2020 ada beberapa pemesan dengan jumlah cukup banyak, namun setelah terjadi pandemi pesanan dibatalkan, sehingga penghasilan kami juga ikut berkurang banyak,” terangnya.
Saya tetap bersyukur, karena hingga saat ini walaupun omset menurun banyak, namun masih ada pesanan rata-rata sekitar 4.000 biji setiap bulannya. Konsumen banyak dari daerah Kulonprogo dan beberapa dari Bantul, yang pada umumnya mereka masih mempertahankan bangunan tradisional. Satu kendala yang ia rasakan, hanyalah saat musim hujan, karena gendheng tidak cepat kering, sehingga jika ada pesanan terpaksa tidak bisa terlayani dengan cepat seperti saat musim panas. (siti)