Di halaman depan sisi timur Ndalem Widihastan, Geneng, Panggungharjo, Sewon, terdapat panggung yang menampilkan ringgit wacucal atau pentas wayang kulit dengan Lakon Murwakala. Kisah tentang Batara Kala sang Dewa Waktu ini dibawakan oleh dalang Ki Cermo Hadi Sutoyo sebagai penghantar ruwatan sukerta yang diselenggarakan oleh Ketua Sekber Keistimewaan, Widihasto Wasana Putra, pada Kamis (26/12/2024).
Dalam tradisi Jawa, ruwatan sukerta merupakan upacara ritual tolak bala yang kental akan unsur budaya maupun spiritual. Untuk Widihasto, ia punya beberapa alasan mengapa ia menyelenggarakan ruwatan sukerta. Selain ia khususkan ruwatan ini untuk kedua anak perempuannya, ia memang mencintai budaya dan berharap budaya-budaya adiluhung yang diwariskan leluhur dapat lestari.
“Anak saya dua-duanya perempuan. Istilahnya kalau di Jawa itu Kembar Sepasang. Dengan ruwatan ini, harapannya tentu tentram dan sehat lahir batin. Lalu ruwatan ini sesuatu yang perlu dilestarikan. Karena saya ini juga abdi dalem. Dan abdi dalem itu tidak melulu pelayan Sultan, karena sejatinya abdi dalem adalah abdi kebudayaan,” ujar Widihasto.
Yang menarik, di sisi barat tak jauh dari panggung wayang kulit, Widihasto juga menyediakan prasmanan buku. Buku-buku ini gratis boleh diambil siapa saja. Bahkan sejak pagi, banyak anak berkerumun memilah buku yang mereka sukai.
“Kenapa kok ada prasmanan buku? Kalau biasanya prasmanan hanya makanan, ini ada prasmanan buku biar ada ilmu yang dimakan juga. Bebas, silakan diambil. Ada banyak buku untuk anak-anak maupun dewasa,” jelas Widihasto.
Menebar ilmu ini agaknya menjadi semangat tersendiri bagi Widihasto. Ia sediakan bacaan gratis yang bisa dijadikan buah tangan, sekaligus mengenalkan wawasan luas soal budaya ruwatan.
Bupati Bantul, Abdul Halim Muslih, yang menghadiri ruwatan sukerta, banyak hal bisa dipetik dari kegiatan ini. Salah satunya untuk menyuntik semangat pelestarian budaya bagi generasi milenial maupun gen Z.
“Zaman boleh berubah. Teknologi boleh berkembang. Tapi wisdom atau kebijaksanaan dari budaya-budaya yang kita miliki itu tetap adanya. Acara ini penting mengingat kita sebagai warga Yogyakarta yang mendapat amanat untuk melestarikan budaya. Bisa jadi ajang belajar bagi generasi milenial dan gen Z untuk melestarikan budaya,” ujarnya.
Tak salah memang. Dalam ruwatan sukerta ini, ada beberapa makna filosofis baik yang berwujud maupun tidak. Terdapat doa-doa yang dirapalkan serupa mantra. Pula, berjejer ubarampe seperti tumpeng serba rupa dan sejumlah unggas yang berjejer selama pentas wayang kulit berlangsung.
“Secara simbolik, merpati nanti kita lepaskan. Unggas lain, biasanya kami bagi ke warga,” pungkas Widihasto. (Els)