Menjadi salah satu wilayah paling selatan di Bumi Projotamansari, Kalurahan Gadingsari nyatanya memiliki cara tersendiri dalam melestarikan warisan budaya nenek moyang mereka. Warisan leluhur itu mereka tuangkan dalam rupa karya batik. Dua jenis batik khas yang dihasilkan oleh para pengrajin di kawasan ini adalah Batik Kuda Sembrani dan Batik Samudera. Walaupun nama kedua batik ini mungkin belum banyak dikenal, namun kedua motif tersebut mencerminkan kearifan lokal yang dalam dan erat kaitannya dengan budaya serta alam sekitar.
Salah satu pengrajin batik Kuda Sembrani, Sukirah, menceritakan asal mula batik tersebut. Batik ini bermula dari salah satu kesenian tradisional Jathilan, yaitu Jathilan Jaran Sembrani yang lestari di dusun Kleyodan, Gadingsari, Sanden, Bantul. Dilansir dari Kumparan.com yang mengutip buku 1200 Fakta Unik Mitologi Dunia, Adnan Rahmadi (2016:115), Jaran Sembrani atau Kuda Sembrani merupakan hewan mitologi yang dapat terbang dan sangat berani. Dalam cerita pewayangan adalah tunggangan Batara Wisnu, sementara menurut budaya romawi biasa disebut Pegasus tunggangan Hercules. Kuda Sembrani ini kemudian diadaptasi ke dalam motif batik oleh pengrajin lokal.
Saat dikunjungi oleh Tim Jelajah Kriya dan Dekranasda Kabupaten Bantul, Sukirah membeberkan bahwa Batik Kuda Sembrani pertama kali dikembangkan berkat bantuan dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta yang memberikan pelatihan serta alat membatik. Pemasaran batik ini pun dilakukan secara gotong-royong melalui komunitas-komunitas dan media sosial.
“Batik Sembrani ini khas karena memakai motif Kuda Sembrani, dan itu hanya ada di sini. Proses pembuatan satu kain batik bisa memakan waktu hingga tiga hari, karena gambarnya yang langka,” ujar Sukirah.
Sementara itu, Sumiati, salah satu pengrajin batik Samudera, memiliki cerita yang tak kalah menarik. Batik Samudera terinspirasi oleh kondisi alam sekitar, yang dekat dengan laut. Motif batik ini menggambarkan keindahan samudra dengan berbagai unsur alam, seperti ombak, kapal, hingga ikan.
“Batik Samudera ini dulu awalnya karena saya dan suami mulai dari kerja di butik, dan karena daerah kami dekat dengan laut, kami terinspirasi untuk membuat motif yang identik dengan laut,” ungkap Sumiati.
Seiring berjalannya waktu, penjualan batik Samudera dan Batik Kuda Sembrani kini mulai berkembang. Meski masih terbilang baru, Sumiati mengungkapkan omset bulanan mereka sudah mencapai sekitar lima hingga enam juta rupiah. Kendala utama yang dihadapi dalam proses produksi batik adalah cuaca, terutama pada saat musim hujan.
“Saat musim hujan, tempat pewarnaan harus kering, tapi di tempat yang sejuk, anginnya tidak banyak,” kata Sumiati.
Baik Batik Kuda Sembrani maupun Batik Samudera kini memiliki pasar yang mulai berkembang, baik melalui pemasaran langsung maupun melalui media sosial. Harga batik ini pun bervariasi, mulai dari 50 ribu hingga 400 ribu rupiah, tergantung pada bahan dan tingkat kerumitan motif. Batik dengan pewarnaan empat kali tentu harganya lebih mahal, sementara yang lebih sederhana bisa dijual dengan harga lebih terjangkau.
Dengan semangat pelestarian budaya dan kreativitas, Sukirah maupun Sumiati selaku pengrajin berharap batik Kuda Sembrani dan Samudera dapat dikenal luas. Bagi masyarakat Gadingsari, batik bukan sekadar produk, tetapi juga simbol kekuatan budaya dan warisan nenek moyang yang terus dihidupkan oleh generasi penerusnya. (Fza)